by

Helmi Hasan “menghilang” dan tidak hadir di debat kandidat, teladan buruk demokrasi kita?

Tak terasa pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Bengkulu periode 2018-2023 semakin dekat. Sebentar lagi masyarakat kota Bengkulu akan merayakan pesta demokrasi 5 tahunan untuk menentukan siapa pemimpin kota Bengkulu kedepannya.

Tentu pemimpin yang dapat membawa harapan baru bagi masyarakat. Pemimpin yang mampu mengatasi persoalan yang hinggap di seluruh sendi kehidupan masyarakat kota Bengkulu khususnya.

Ruang demokrasi sudah terbuka seluas-luasnya. Masyarakat bisa menentukan langsung nasib dan arah bangsa ini melalui rekam jejak dan platform pembangunan yang ditawarkan para calon kandidat yang ikut berkompetisi.

Maka dari itu, semangat demokrasi terletak pada bagaimana para kandidat kepala daerah untuk mampu mensosialisasikan visi dan misi, mendengar keluhan masyarakat, sekaligus mempengaruhi para konstituen untuk ikut terlibat memilih. Jadi, para calon kepala daerah harus hadir ditengah masyarakat dan mengikuti seluruh proses tahapan Pilkada sesuai dengan aturan yang telah di tetapkan pihak penyelenggara dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum.

Hari ini dalam kasus pemilihan pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Bengkulu publik bertanya dan heran atas “hilangnya” calon Walikota incumbent Helmi Hasan. Banyak sekali spekulasi yang berkembang mengenai ketidak hadirannya, baik di tengah masyarakat maupun dalam tahapan pilkada yang sudah ditetapkan oleh pihak penyelenggara pemilu.

Apapun spekulasi yang berkembang; strategi politik, takut berhadapan dengan masyarakat kota Bengkulu, melaksanakan ibadah “khusus”, ataupun pecah kongsi dengan calon wakil walikota sudah seyogyanya setiap pasangan calon memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat kota Bengkulu. Atau jika benar berhalangan hadir, sesuai dengan aturan PKPU maka calon tersebut harus memberikan surat pemberitahuan melalui lembaga pemerintah yang terkait dengan urusan ketidak hadiran tersebut. Setelah sah ditetapkan sebagai pasangan calon kepala daerah maka setiap orang dalam pasangan calon terikat oleh tata aturan hukum serta perundang-undangan yang berlaku berkenaan khusus dalam pelaksanaan pemilu.

Hal ini sudah menjadi sorotan luas seluruh elemen masyarakat. Banyak kajian dari sudut pandang hukum, sosial dan budaya yang terjadi dalam membaca persoalan ini. Tapi, diluar persoalan hukum dan itu semua, dalam kacamata etika demokrasi ini bisa saja menjadi presenden buruk.

Demokrasi itu mendekatkan calon pemimpin pada rakyatnya. Bukan seperti sebuah sikap sombong dan arogansi. Seperti sebuah falsafah “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. (xxx/03)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed